KELAS : 4EA17
NPM : 10210090
MORALITAS
KORUPTOR
ABSTRAK
Achmad
Romadhoni.Etika Bisnis. Fakultas Manajemen. Jurusan Ekonomi. Universitas
Gunadarma.2013. Penulisan yang berjudul “ Moralitas Koruptor“ ini
membahas tentang korupsi yang semakin marak dewasa ini, mengapa bisa
terjadi dan bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis dan siapa yang
harus bertanggung jawab. Makalah ini dilatarbelakangi Korupsi bertumbuh
sangat subur dan rumit sehingga siap meruntuhkan setiap struktur masyarakat. Di
beberapa negeri, apa saja diselesaikan dengan pelicin. Suap yang diberikan
kepada orang yang tepat memungkinkan seseorang lulus ujian, mendapatkan SIM,
memperoleh tender, atau memenangkan perkara hukum.. Metode penulisan ini dengan
cara mengumpulkan berbagai informasi yang dari sumber-sumber yang terdapat di
internet. Berdasarkan pencarian penulis di internet ternyata Korupsi dewasa ini
telah menjadi bisnis yang menjanjikan. Para pelakunya merencanakannya dengan
perhitungan bisnis yang matang. Oleh karena itu, hukuman tiga atau empat tahun
dianggap sebagai biaya yang harus ditanggung demi mencapai hasil besar yang diinginkan.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Moral pejabat negara telah
berada pada titik nadir yang membahayakan.Demokrasi yang kita bangga-banggakan selama ini,
pada satu sisi tidak membawa dampak menggembirakan bagi bangsa.Reformasi politik,
diakui atau tidak, telah menciptakan demokrasi secara langsung, kebebasan
berpendapat, dan desentralisasi kekuasaan melalui otonomi daerah. Tetapi siapa
tanya ternyata moral pejabat telah berada pada titik yang sangat
mengkhawatirkan.Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Utama (PBNU), KH Said Aqil
Siroj di Jakarta, Jumat (11/10) mengatakan, banyaknya kasus korupsi
belakangan ini menunjukkan moralitas pejabat kita sudah merosot.“Apa artinya
demokrasi kalau para pejabatnya korup dan rakyat tidak percaya lagi pada
penegak hukum? Untuk membangun kembali kewibawaan hokum, kita perlu gerakan
reformasi total termasuk reformasi moral,” bangsa ini juga memerlukan nilai
kejujuran, kebenaran, dan kesungguhan. Said Aqil Siroj berpendapat, reformasi
hukum terutama pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih
tersendat.Jika mau jujur mengatakan demokrasi yang kita bangun pasca-Orde
Reformasi malah melahirkan sejumlah persoalan yang membuat kita prihatin. Salah
satu wujud demokrasi yang sering kita puji adalah desentralisasi kekuasaan melalui
otonomi daerah. Kepala daerah dipilih langsung. Namun, siapa sangka dalam
perjalanan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung malah melahirkan banyak
sengketa.Namun, lepas dari kasus tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa moral
pejabat negara telah berada pada titik nadir yang membahayakan. Kita mencatat
sebelum mencuatnya kasus Akil Mochtar juga terdapat pejabat negara (termasuk
tokoh partai politik dan pejabat tinggi di Polri), masuk dalam deretan pejabat
yang bermoral buruk.Masyarakat masih ingat pada Anas Urbaningrum, mantan Ketua
Umum DPP Partai Demokrat itu. Lalu, ada pula Mantan Menpora Andi Mallarangeng
yang Jumat (11/10) gagal ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua
tokoh ini terlibat dalam kasus proyek Hambalang, Bogor.Presiden Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq, juga menggemparkan para kader partai
Islam ini. Betapa tidak mengejutkan, Luthfi bersama Ahmad Fathanah didakwa
menerima hadiah atau janji berupa uang Rp 1,3 miliar, bagian dari total imbalan
Rp 40 miliar yang dijanjikan Dirut PT Indoguna Utama terkait pengurusan
persetujuan penambahan kuota impor daging sapi.Kasus lainnya terjadi pada
Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini dan mantan Kepala Korps Lantas Polri Irjen
Djoko Susilo. Irjen Djoko telah divonis Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Semua hartanya terancam disita
Negara.Melihat serangkaian kasus korupsi yang dilakukan pejabat negara termasuk
tokoh partai politik dan kalangan akademikus itu, benar adanya moral pejabat di
negeri ini sudah merosot bukan kepalang. Meski mereka sudah menduduki jabatan
tinggi dan bergaji besar, tetapi masih bernapsu memperbanyak harta dengan cara
tidak halal. Kondisi ini menggambarkan krisis moral benar-benar melanda negeri
ini.Herannya lagi, dalam kesehariannya para koruptor tersebut aktif menjalankan
ritual keagamaan, namun hatinya dekat dengan tindakan korupsi. Perbuatan korupsi
terus dilakukan dengan sadar.Tepat seperti yang dikemukakan Ketua PBNU, KH Said
Aqil Siroj, sudah saatnya bangsa ini memerlukan reformasi moral, nilai
kejujuran, kebenaran, dan kesungguhan. Tentunya ini menjadi tugas para pemuka
agama untuk selalu mengingatkan melalui pesan-pesan moral.Langkah itu juga
harus dibarengi dengan penegakan hukuman yang berat bagi para pejabat negara
yang terbukti korupsi. Reformasi hokum, terutama pemberantasan KKN, sudah harus
menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar lagi.
Hal
ini menarik untuk dipergunakan dalam membahas hukum, moral dan perilaku korupsi
oleh karena adanya perilaku korupsi di Indonesia saat ini bila
dijumlahkan akan mencapai jumlah yang spektakuler, sehingga menghambat
pembangunan bahkan dapat mengancam kelangsungan hidup bangsa dan masyarakat
Indonesia. Sebagai bandingan, saya menggunakan juga pandangan Michael
Sandel seorang ahli filsafat politik yang kini sangat terkemuka di Amerika
Serikat.
Menurut
pandangan saya, dengan mengikuti uraian Sandel (2009: 245) kesadaran moralitas
lebih mengedepan berdasarkan kepentingan nasional, melebihi tekanan-tekanan
berdasar prinsip keagamaan maupun moral sosial. Dengan demikian hal itu perlu
dilihat sebagai doktrin utama dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat dan
bernegara di Indonesia yang dibangun di atas dasar Pancasila
dan penyelenggaraannya dijalankan berdasar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Sebaliknya
dapat juga dipahami bahwa dalam lingkup masyarakat plural, seseorang atau
sekelompok orang dapat mengedepankan pendapatnya berdasarkan keyakinan moralnya
sendiri, akan tetapi di dalam kehidupan politik adalah tidak
selayaknya menolak keyakinan moral yang berbeda tetapi diperlukan memperoleh
nilai-nilai kebersamaan yang menjadi kepentingan nasional yang dipahami oleh
seluruh bangsa dan masyarakat Indonesia, baik secara moral maupun tercapainya
keadilan sosial. Resonansi retorika politik yang terwujud di dalam hukum,
apapun bertolak juga dari moral yang muncul secara pribadi maupun dari dalam
kelompok.
Dimana-mana,
termasuk di Indonesia, tekanan terhadap perilaku korupsi sangat dipengaruhi
oleh moralitas yang berakar pada pandangan tertentu, baik moral berdasar agama
maupun moral sosial yang berakar pada cita-cita dari banyak kelompok tertentu
dalam masyarakat. Hal itu tampak pada opini-opini, maupun kritik yang dikedepankan
secara pribadi lewat media cetak maupun elektronik. Disinilah
tercermin kepentingan atau interes nasional. Walau demikian dapat muncul
pendapat bahwa moral maupun cita-cita yang ditampilkan, hanya mengedepankan
kewajiban samar-samar untuk dipatuhi. Dengan demikian, acuan terhadap moralitas
maupun cita-cita sedemikian tidak menjadi ukuran bagi kesahihan hukum
yang berhubungan dengan korupsi. Hukum perlu memperoleh kesahihan bukan karena
semata-mata dibuat oleh lembaga yang berwenang namun juga dari moral.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan
masalah pada penulisan ini adalah korupsi yang semakin marak dewasa ini,
mengapa bisa terjadi dan bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis
dan siapa yang harus bertanggung jawab.
1.3 Batasan masalah
Batasan
masalah penulisan ini adalah hanya membahas moralitas koruptor.
1.4 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini untuk
mengetahui korupsi yang semakin marak dewasa ini, mengapa bisa terjadi dan
bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis dan siapa yang harus
bertanggung jawab.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1 Pengertian Bisnis
Berikut
ini ada beberapa pengertian bisnis menurut para ahli :
- Allan afuah (2004)
Bisnis
adalah suatu kegiatan usaha individu yang terorganisasi untuk menghasilkan dana
menjual barang ataupun jasa agar mendapatkan keuntungan dalam pemenuhan
kebutuhan masyarakat dan ada di dalam industri.
- T. chwee (1990)
Bisnis
merupaka suatu sistem yang memproduksi barang dan jasa untuk memuaskan
kebutuhan masyarakat.
- Grifin dan ebert
Bisnis
adalah suatu organisasi yang mennyediakan barang atau jasa yang bertujuan untuk
mendapatkan keuntungan.
- Steinford
Bisnis
adalah suatu lembaga yang menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan
masyarakat.
- Mahmud machfoedz
Bisnis
adalah suatu usaha perdagangan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang
terorganisasi agar bisa mendapatkan laba dengan cara memproduksi
dan memjual barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat .
·
- Glos, steade dan lowry (1996)
Bisnis
merupakan sekumpulan aktifitas yang dilakukan untuk menciptakan dengan cara
mengembangkan mentransformasikan berbagai sumberdaya menjadi barang atau jasa
yang diinginkan konsumen.
- Musselman dan jackson (1992)
Bisnis
adalah jumlah seluruh kegiatan yang diorganisir orang-orang yang berkecimpung
dalam bidang perniagaan dan industry yag menyediakan barang atau jasa ontuk
mempertahankan dan mem[erbaiki standard serta kualitas hidup mereka.
- Boone dan kurtz
(2002;8)
Bisnis
adalah semua aktivitas aktivitas yang bertujuan memcari laba dan perusahyaan
yag meghasilkan barag serta jasa yang dibutuhkan oleh sebuah sistem ekonomi.
- Hughes dan kapoor dalam alma
(1889;21)
Bisnis
adalah suatu kegiatan individu yang terorganisasi untuk menghasilkan dan
menjual barang dan jasa guna mendapatkan keuntungan dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat.
2.2 Pengertian Moral
Moral
adalah kaidah mengenai apa yang baik dan buruk. Sesuatu yang baik kemudian
diberi label “bermoral.” Sebaliknya, tindakan yang bertentangan dengan kebaikan
lantas dikategorikan sebagai sesuatu yang jahat, buruk, atau: “tidak bermoral.”
Semua orang sepakat bahwa manusia adalah makhluk yang istimewa, unik, dan
berbeda dengan aneka ciptaan Tuhan yang lain. Keunikan tersebut menjadi faktor
pembeda yang tegas antara manusia dan makhluk yang lain. Lalu apa yang
membedakan manusia dengan makhluk yang lain? Tentu akal budinya!
Akal budi inilah yang memampukan manusia untuk membedakan apa yang baik dan
yang buruk. Dengan demikian manusia tidak tunduk pada insting belaka. Aneka
nafsu, hasrat, dan dorongan alamiah apapun diletakkan secara harmonis di bawah
kendali budi.
Dari
sini kemudian manusia menggagas hidupnya secara lebih bermartabat dan
terhormat. Manusia kemudian punya kecenderungan alamiah untuk mengarahkan
hidupnya kepada kebaikan dan menolak keburukan. Apa saja yang baik, itulah yang
dikejar dan diusahakan. Hidup sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lain
sebagainya kemudian digagas untuk menggapai kebaikan.
2.3 Moralitas
Obyektif
Moralitas obyektif lahir dari kesadaran manusia untuk mencapai kebaikan
bersama. Moralitas obyektif adalah tata nilai yang secara obyektif ada dan
dipatuhi bersama sebagai konsekuensi dari kodrat manusia sebagai makhluk
berakal budi.
Moralitas seperti ini hadir dalam bentuk aneka peraturan, perundangan, norma,
dan nilai-nilai yang berkembang dalam tata hidup bersama. Ia bisa berwujud
aturan yang sudah diwariskan turun-temurun, tetapi bisa juga berwujud aturan
yang dengan sengaja dibuat untuk pencapaian kebaikan bersama, misalnya
undang-undang, KUHP, aneka tata-tertib, dll. Untuk mencegah korupsi misalnya,
manusia kemudian membuat undang-undang antikorupsi.
Pelanggaran terhadap moralitas obyektif ini mengakibatkan si pelanggar dikenai
sanksi dan hukum yang berlaku. Seorang koruptor, misalnya, harus dihukum jika
secara obyektif dia terbukti melakukan korupsi.
2.4 Moralitas Subyektif
Moralitas subyektif adalah tata nilai yang secara konstitutif ada di dalam hati
sanubari manusia. Karena setiap manusia berakal budi, maka setiap manusia
mempunyai dalam dirinya sendiri tata nilai yang mengantarnya kepada kebaikan,
dan ini harus ditaati.
Berbeda dengan moralitas obyektif, pelanggaran terhadap norma subyektif ini
tidak bisa dikenai hukum obyektif. Lalu instansi apa yang bisa mengawasi
moralitas subyektif semacam ini? Bukan polisi, tentara, jaksa, ataupun KPK,
melainkan hati nurani! Hati nurani inilah yang kemudian terlanggar jika
seseorang memilih untuk menyimpang kepada keburukan dengan mau-tahu-dan bebas.
Secara sekilas, agaknya moralitas subyektif ini sanksinya lebih ringan karena
hanya dirinya sendiri yang tahu. Tetapi betulkah demikian? Tidak! Justru sanksi
dari moralitas subyektif ini akan menghantuinya seumur hidup. Jika hukuman
obyektif (sanksi penjara misalnya) hanya berlaku selama beberapa tahun dan
setelah itu ia bisa melenggang bebas, tidak demikian dengan sanksi yang
dijatuhkan nurani manusia!
2.5 Korupsi
Korupsi berdasarkan
pemahaman pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Korupsi merupaka tindakan
melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau
sebuah korporasi) , yang secara langusng maupun tidak langsung merugikan
keuangan atau prekonomian negara, yang dari segi materiil perbuatan itu
dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan
masyarakat.
Faktor-faktor
penyebab terjadinya korupsi, yaitu :
- Penegakan hukum tidak konsisten,
penegakan hukum hanya sebagai make up politik, sifatnya sementara, selalu
berubah setiap berganti pemerintahan.
- Penyalahgunaan kekuasaan/wewenanng,
takut dianggap bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan.
- Langkanya lingkungan yang
antikorup, sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas
formalitas.
- Rendahnya pendapatan
penyelenggara Negara. Pendapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi
kebutuhan penyelenggara Negara, mampu mendorong penyelenggara Negara untuk
berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
- Kemiskinan, keserakahan, masyarakat
kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan
mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah
puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
- Budaya memberi upeti, imbalan jasa
dan hadiah.
- Konsekuensi bila ditangkap lebih
rendah daripada keuntungan korupsi, saat tertangkap bisa menyuap penegak
hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya.
- Budaya permisif/serba membolehkan,
tidak mau tahu, menganggap biasa bila sering terjadi. Tidak peduli
orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
- Gagalnya pendidikan agama dan etika. Pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Sebenarnya agama bisa memainkan peran yang lebih besar dalam konteks kehidupan sosial dibandingkan institusi lainnya, sebab agama memiliki relasi atau hubungan emosional dengan para pemeluknya. Jika diterapkan dengan benar kekuatan relasi emosional yang dimiliki agama bisa menyadarkan umat bahwa korupsi bisa membawa dampak yang sangat buruk (Indopos.co.id, 27 September 2005).
BAB
III
METODOLOGI
PENELITIAN
Pada penulisan ini penuli mencari
informasi yang ada dari sumber-sumber diinternet sebanyak-banyaknya
mengenai moralitas koruptor agar rumusan dan tujuan penulisan ini dapat
terjawab. Data penulisan ini mengunakan data sekunder. Dimana pengertian Data
Sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai
sumber yang telah ada (peneliti sebagai tangan kedua). Data sekunder dapat
diperoleh dari berbagai sumber seperti Biro Pusat Statistik (BPS), buku,
laporan, jurnal, dan lain-lain.
BAB
IV
PEMBAHASAN
Korupsi adalah perbuatan/ tindakan,
dimulai dengan adanya niat, kemudian berusaha mencari-cari kesempatan atau
sebaliknya dimulai dengan adanya kesempatan dan kesempatan tersebut menimbulkan
niat. Dengan adanya niat dan tersedianya kesempatan maka tahapan selanjutnya
adalah berpikir seberapa besar resikonya melakukan perbuatan tersebut. Jika
merasa mampu menerima resiko maka terjadilah perbuatan korupsi tetapi jika
dirasa resikonya besar maka akan menunda bahkan menghindari perbuatan tersebut.
Perbuatan korupsi adalah candu dan
mengasyikkan. Korupsi akan memberikan sejumlah uang dalam waktu yang singkat,
nilainya besar bahkan bisa melebihi jumlah gaji selama puluhan tahun bahkan
bisa melebihi jumlah gaji selama ratusan tahun. Kemudian setelahnya, dengan
uang tersebut akan dapat menikmati hidup, menjadi orang kaya, mampu membeli
rumah mewah, mobil mewah, mampu membayar biaya kesehatan,
biaya pendidikan, liburan, gaya hidup, bahkan rasa hormat melalui peningkatan
dan pencitraan sosial. Bertindak sebagai dermawan dan pemurah dengan menyumbang
atau donatur untuk lembaga-lembaga agama dan sosial.
Kondisi ini didukung
oleh situasi dan nilai yang beredar di masyarakat. Rumah, kesehatan,
pendidikan, dan kebutuhan fisik lainnya membutuhkan uang dalam jumlah yang
besar terutama dalam masyarakat masyarakat perkotaan/ modern. Rumah, kesehatan,
pendidikan, biaya hidup tidak bisa diperoleh dengan hanya jujur dan
berintegritas saja. Siapapun tidak akan mampu meminta masyarakat dan orang lain
untuk memberikan kesempatan pertama pada orang yang jujur dan berintegritas.
Pelayanan, kemewahan dan rasa hormat harus dibayar dengan uang. Siapa mempunyai
uang maka dia akan mendapatkan kesempatan pertama, pelayanan yang utama dan
hal-hal utama lainnya yang sifatnya materialis. Materialisme telah merupakan
tujuan hidup masyarakat saat ini.
Jahatnya adalah perbuatan korupsi ibarat kanker yang
merusak kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat. Perbuatan korupsi hanyalah
menguntungkan para pelakunya dan secara perlahan dan pasti perbuatan ini akan
merusak tatanan hidup kolektif/ masyarakat yang mengakibatkan hak-hak ekonomi,
sosial, politik masyarakat terampas untuk hidup adil, makmur
dan sejahtera sehingga masyarakat akan terjatuh pada kemiskinan, kebodohan
bahkan perbudakan. Dengan demikian perbuatan korupsi perlu dan harus
diberantas.
Kenapa korupsi terjadi ? Variabel apa
saja yang mempengaruhi individu untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan
korupsi ? Pertanyaan ini adalah pertanyaan dasar yang harus dijawab untuk bisa
memberantas korupsi. Dengan mengetahui jawaban atas pertanyaan
tersebut maka akan dapat dilakukan usaha-usaha untuk mengatasinya, secara
praktis, menyeluruh dan sistematis sehingga pemberantasan korupsi secara pasti
mengalami kemajuan, menciptakan Indonesia yang bebas dari
korupsi, menciptakan suasana yang kondusif bagi semua pihak untuk bekerja,
memberikan kontribusi terbaik menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan
sejahtera.
Individu
bekerja dalam suatu bidang (seperti bidang penegakan hukum, pajak, bidang
anggaran, bidang pelayanan publik, bidang infrastruktur, bidang perbankan,
dll). Korupsi juga terjadi pada bidang-bidang tersebut. Mengambil contoh bidang
bea cukai, kenapa orang yang bekerja pada bidang bea cukai melakukan korupsi ?
Pertanyaan tersebut dianalisis, kemudian hasil analisis digunakan untuk
mendiagnosis dan mengambil langkah-langkah yang perlu dan sistematis untuk
mengurangi kemungkinan bahkan menghindari/ mencegah seseorang melakukan korupsi
dan juga mempertahankannya sehingga proses dan sistemnya berkelanjutan.
Dari
penjelasan di atas maka perbuatan korupsi dalam bentuk matematis dapat
dituliskan sebagai berikut:
Ko
= f(N,K,R)
dimana:
Ko
= perbuatan korupsi
N
= niat
K
= kesempatan
R
= resiko melakukan korupsi
Perbuatan
korupsi adalah fungsi dari niat, kesempatan dan resiko perbuatan korupsi,
dimana Ko berbanding lurus dengan N, K dan berbanding terbalik dengan R. Tetapi
variabel-variabel Ko, N, K dan R mempunyai hubungan yang sangat kompleks dan
saling tergantung satu sama lain dan dapat dituliskan dalam persamaan berikut:
Ko
= f(N,K,R) , dimana
N
= f(Ko, K, R,e)
K
= f(Ko, N, R,e)
R
= f(Ko, N, K,e), e = hal lain yang mempengaruhi.
Ilmu-ilmu
eksak mempunyai penyelesaian untuk persamaan di atas, salah satunya adalah
metode iterasi dan dengan bantuan pemrograman/ komputer hal tersebut menjadi
mudah untuk diselesaikan dalam waktu yang singkat dan akurasi yang tinggi.
Tetapi dalam konteks sosial melakukan iterasi adalah hal yang
tidak mungkin.
Dalam
bentuk sederhana persamaan perbuatan korupsi dapat dituliskan sebagai berikut:
Ko
= (aN * bK)/cR
dimana
a,b, dan c adalah konstanta.
Dengan
memahami rumus dari perbuatan korupsi (Ko) maka pemberantasan korupsi berarti
menghilangkan/ menurunkan nilai Ko dengan cara menurunkan variabel niat (N) dan
kesempatan (K) serta menaikkan variabel resiko (R).
KEMUNGKINAN
TERJADINYA KORUPSI
Kemungkin
terjadinya korupsi dengan mempertimbangkan ketiga variable di atas adalah
sebagai berikut:
Ko
= (aN * bK)/cR
maka
kemungkinan terjadinya korupsi dapat ditulis dalam bentuk tabel sebagai
berikut:
Niat
|
Kesempatan
|
Resiko
|
Kemungkinan
Terjadinya Korupsi
|
0
|
0
|
Tidak
relevan
|
0
|
1
|
0
|
Tidak
relevan
|
0
|
0
|
1
|
Tidak
relevan
|
0
|
1
|
1
|
Kecil
|
Kemungkinan
korupsi besar
(kondisi
Indonesia)
|
1
|
1
|
Besar
|
Kemungkinan
korupsi kecil
|
0<N<1
|
0<K<1
|
Relevan
|
0<Ko<1
|
Untuk
kondisi Indonesia maka NIAT terjadinya korupsi adalah BESAR yang diindikasikan
dengan gaji pejabat tidak mencukupi, kondisi masyarakat yang materialis, adanya
nilai/ paradigma di masyarakat yang mendukung korupsi seperti
seremonial-seremonial adat dan lain lain. Di saat yang sama KESEMPATAN untuk
korupsi adalah BESAR yang dapat dilihat dari kewenangan pejabat yang besar,
penyebaran anggaran ke daerah yang besar, pengawasan publik yang lemah
(permisif terhadap korupsi), sistem pengendalian yang lemah, dll. Kondisi ini
diperparah dengan RESIKO korupsi RENDAH , yang ditunjukkan dengan proses
pembuktian yang berbelit-belit, penegak hukum yang bisa disuap untuk
menutup-nutupi kasus, pidana kurungan yang rendah, pengembalian uang pengganti
hanya sampai jumlah kerugian negara yang ditimbulkan. Maka dapat dipastikan
bahwa kemungkinan terjadinya KORUPSI di INDONESIA adalah SANGAT BESAR.
Dampak
korupsi terhadap sebuah kegiatan bisnis dan pihak yang bertanggung jawab
Dengan
adanya praktek korupsi yang sedang marak terjadi di Indonesia, seperti proses
perizinan usaha sebuah perusahaan yang berbelit-belit dan dengan biaya tinggi
yang tidak pada semestinya dikarenakan ada oknum tertentu dengan sengaja
mengambil sebagian biaya tersebut. Dengan adanya praktek pungutan yang tidak
semestinya, maka hal tersebut, tentunya sangat berdampak pada kegiatan bisnis
dalam suatu perusahaan karena dengan adanya praktek-praktek korupsi oleh
pihak-pihak/oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab ini akan membebankan
perusahaan seperti adanya High Cost sehingga hal tersebut berpengaruh
pula pada harga dari sebuah produk barang atau jasa yang dihasilkan. Hal ini
terjadi karena buruknya mental dan minimnya pemahaman serta kesadaran hukum
pada para pelaku tindak pidana korupsi tersebut. Dan adanya persepsi dari para
pengusaha terjadinya sejumlah kasus korupsi termasuk suap, juga dipicu karena
rumitnya urusan birokrasi yang tidak pro bisnis, sehingga mengakibatkan beban
biaya ekonomi yang tinggi dan inefisiensi waktu.
6 Strategi agar
mencegah supaya korupsi tidak terjadi
Pencegahan. Korupsi
masih terjadi secara masif dan sistematis. Praktiknya bisa berlangsung
dimanapun, di lembaga negara, lembaga privat, hingga di kehidupan sehari-hari.
Melihat kondisi seperti itu, maka pencegahan menjadi layak didudukkan sebagai
strategi perdananya. Melalui strategi pencegahan, diharapkan muncul langkah
berkesinambungan yang berkontribusi bagi perbaikan ke depan. Strategi ini
merupakan jawaban atas pendekatan yang lebih terfokus pada pendekatan represif.
Paradigma dengan pendekatan represif yang berkembang karena diyakini dapat
memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi (tipikor).
Sayangnya, pendekatan represif ini masih belum mampu mengurangi perilaku dan
praktik koruptif secara sistematis-massif. Keberhasilan strategi pencegahan
diukur berdasarkan peningkatan nilai Indeks Pencegahan Korupsi, yang
hitungannya diperoleh dari dua sub indikator yaitu Control of Corruption Index
dan peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business) yang dikeluarkan oleh
World Bank. Semakin tinggi angka indeks yang diperoleh, maka diyakini strategi
pencegahan korupsi berjalan semakin baik.
Penegakan Hukum. Masih banyak kasus korupsi yang belum tuntas, padahal animo dan ekspektasi masyarakat sudah tersedot sedemikian rupa hingga menanti-nanti adanya penyelesaian secara adil dan transparan. Penegakan hukum yang inkonsisten terhadap hukum positif dan prosesnya tidak transparan, pada akhirnya, berpengaruh pada tingkat kepercayaan (trust) masyarakat terhadap hukum dan aparaturnya. Dalam tingkat kepercayaan yang lemah, masyarakat tergiring ke arah opini bahwa hukum tidak lagi dipercayai sebagai wadah penyelesaian konflik. Masyarakat cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka melalui caranya sendiri yang, celakanya, acap berseberangan dengan hukum.
Belum lagi jika ada pihak-pihak lain yang memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum demi kepentingannya sendiri, keadaaan bisa makin runyam. Absennya kepercayaan di tengah-tengah masyarakat, tak ayal, menumbuhkan rasa tidak puas dan tidak adil terhadap lembaga hukum beserta aparaturnya. Pada suatu tempo, manakala ada upaya-upaya perbaikan dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, maka hal seperti ini akan menjadi hambatan tersendiri. Untuk itu, penyelesaian kasus-kasus korupsi yang menarik perhatian masyarakat mutlak perlu dipercepat. Tingkat keberhasilan strategi penegakan hukum ini diukur berdasarkan Indeks Penegakan Hukum Tipikor yang diperoleh dari persentase penyelesaian setiap tahapan dalam proses penegakan hukum terkait kasus Tipikor, mulai dari tahap penyelesaian pengaduan Tipikor hingga penyelesaian eksekusi putusan Tipikor.
Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan. Meratifikasi UNCAC, adalah bukti konsistensi dari komitmen Pemerintah Indonesia untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Sebagai konsekuensinya, klausul-klausul di dalam UNCAC harus dapat diterapkan dan mengikat sebagai ketentuan hukum di Indonesia. Beberapa klausul ada yang merupakan hal baru, sehingga perlu diatur/diakomodasi lebih-lanjut dalam regulasi terkait pemberantasan korupsi selain juga merevisi ketentuan di dalam regulasi yang masih tumpang-tindih menjadi prioritas dalam strategi ini. Tingkat keberhasilan strategi ini diukur berdasarkan persentase kesesuaian regulasi anti korupsi Indonesia dengan klausul UNCAC.
Penegakan Hukum. Masih banyak kasus korupsi yang belum tuntas, padahal animo dan ekspektasi masyarakat sudah tersedot sedemikian rupa hingga menanti-nanti adanya penyelesaian secara adil dan transparan. Penegakan hukum yang inkonsisten terhadap hukum positif dan prosesnya tidak transparan, pada akhirnya, berpengaruh pada tingkat kepercayaan (trust) masyarakat terhadap hukum dan aparaturnya. Dalam tingkat kepercayaan yang lemah, masyarakat tergiring ke arah opini bahwa hukum tidak lagi dipercayai sebagai wadah penyelesaian konflik. Masyarakat cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka melalui caranya sendiri yang, celakanya, acap berseberangan dengan hukum.
Belum lagi jika ada pihak-pihak lain yang memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum demi kepentingannya sendiri, keadaaan bisa makin runyam. Absennya kepercayaan di tengah-tengah masyarakat, tak ayal, menumbuhkan rasa tidak puas dan tidak adil terhadap lembaga hukum beserta aparaturnya. Pada suatu tempo, manakala ada upaya-upaya perbaikan dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, maka hal seperti ini akan menjadi hambatan tersendiri. Untuk itu, penyelesaian kasus-kasus korupsi yang menarik perhatian masyarakat mutlak perlu dipercepat. Tingkat keberhasilan strategi penegakan hukum ini diukur berdasarkan Indeks Penegakan Hukum Tipikor yang diperoleh dari persentase penyelesaian setiap tahapan dalam proses penegakan hukum terkait kasus Tipikor, mulai dari tahap penyelesaian pengaduan Tipikor hingga penyelesaian eksekusi putusan Tipikor.
Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan. Meratifikasi UNCAC, adalah bukti konsistensi dari komitmen Pemerintah Indonesia untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Sebagai konsekuensinya, klausul-klausul di dalam UNCAC harus dapat diterapkan dan mengikat sebagai ketentuan hukum di Indonesia. Beberapa klausul ada yang merupakan hal baru, sehingga perlu diatur/diakomodasi lebih-lanjut dalam regulasi terkait pemberantasan korupsi selain juga merevisi ketentuan di dalam regulasi yang masih tumpang-tindih menjadi prioritas dalam strategi ini. Tingkat keberhasilan strategi ini diukur berdasarkan persentase kesesuaian regulasi anti korupsi Indonesia dengan klausul UNCAC.
Kerjasama Internasional dan Penyelamatan Aset Hasil Tipikor. Berkenaan
dengan upaya pengembalian aset hasil tipikor, baik di dalam maupun luar negeri,
perlu diwujudkan suatu mekanisme pencegahan dan pengembalian aset secara
langsung sebagaimana ketentuan UNCAC. Peraturan perundang-undangan
Indonesia belum mengatur pelaksanaan dari putusan penyitaan (perampasan) dari
negara lain, lebih-lebih terhadap perampasan aset yang dilakukan tanpa adanya
putusan pengadilan dari suatu kasus korupsi (confiscation without a criminal
conviction). Penyelamatan aset perlu didukung oleh pengelolaan aset negara yang
dilembagakan secara profesional agar kekayaan negara dari aset hasil tipikor
dapat dikembalikan kepada negara secara optimal. Keberhasilan strategi ini
diukur dari persentase pengembalian aset hasil tipikor ke kas negara
berdasarkan putusan pengadilan dan persentase tingkat keberhasilan (success
rate) kerjasama internasional terkait pelaksanaan permintaan dan penerimaan
permintaan Mutual Legal Assistance (MLA) dan Ekstradisi.
Pendidikan
dan Budaya Antikorupsi. Praktik-praktik korupsi
yang kian masif memerlukan itikad kolaboratif dari Pemerintah beserta segenap
pemangku kepentingan. Wujudnya, bisa berupa upaya menanamkan nilai budaya
integritas yang dilaksanakan secara kolektif dan sistematis, baik melalui
aktivitas pendidikan anti korupsi dan internalisasi budaya anti korupsi di
lingkungan publik maupun swasta. Dengan kesamaan cara pandang pada setiap
individu di seluruh Indonesia bahwa korupsi itu jahat, dan pada akhirnya para individu
tersebut berperilaku aktif mendorong terwujudnya tata-kepemerintahan yang
bersih dari korupsi diharapkan menumbuhkan prakarsa-prakarsa positif bagi upaya
PPK pada khususnya, serta perbaikan tata-kepemerintahan pada umumnya. Tingkat
keberhasilan strategi ini diukur berdasarkan Indeks Perilaku Antikorupsi yang
ada dikalangan tata-kepemerintahan maupun individu di seluruh Indonesia.
Mekanisme
Pelaporan Pelaksanaan Pemberantasan Korupsi. Strategi
yang mengedepankan penguatan mekanisme di internal Kementerian/Lembaga,
swasta, dan masyarakat, tentu akan memperlancar aliran data/informasi terkait
progres pelaksanaan ketentuan UNCAC. Konsolidasi dan publikasi Informasi di
berbagai media, baik elektronik maupun cetak, termasuk webportal
PPK, akan mempermudah pengaksesan dan pemanfaatannya dalam penyusunan kebijakan
dan pengukuran kinerja PPK. Keterbukaan dalam pelaporan kegiatan PPK akan
memudahkan para pemangku kepentingan berpartisipasi aktif mengawal segenap
upaya yang dilakukan oleh pemerintah, lembaga publik maupun sektor swasta.
Keberhasilannya diukur berdasarkan indeks tingkat kepuasan pemangku kepentingan
terhadap laporan PPK. Semakin tinggi tingkat kepuasan pemangku kepentingan,
maka harapannya, semua kebutuhan informasi dan pelaporan terkait proses
penyusunan kebijakan dan penilaian progres PPK dapat semakin terpenuhi sehingga
upaya PPK dapat dikawal secara berkesinambungan dan tepat sasaran.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Korupsi bertumbuh sangat subur dan rumit
sehingga siap meruntuhkan setiap struktur masyarakat. Di beberapa negeri, apa
saja diselesaikan dengan pelicin. Suap yang diberikan kepada orang yang tepat
memungkinkan seseorang lulus ujian, mendapatkan SIM, memperoleh tender, atau
memenangkan perkara hukum.Ada dua hal yang membuat korupsi terus ada: sifat
mementingkan diri dan ketamakan. Karena mementingkan diri, orang-orang yang
korup tutup mata terhadap akibat perbuatannya, yaitu penderitaan atas orang
lain, dan mereka membenarkan korupsi semata-mata karena mereka mendapat manfaat
darinya. Semakin banyak keuntungan materi yang mereka timbun, semakin tamaklah
para koruptor ini.Korupsi bisa diberantas jika secara obyektif ia dilarang
(dengan memberlakukan hukum yang amat berat), dan secara subyektif pula
diperangi (dengan mempertajam peran budi-nurani yang dimiliki oleh setiap
manusia).
5.2 Saran
Korupsi masih terjadi secara masif dan
sistematis. Praktiknya bisa berlangsung dimanapun, di lembaga negara, lembaga
privat, hingga di kehidupan sehari-hari. Melihat kondisi seperti itu, maka
pencegahan menjadi layak didudukkan sebagai strategi perdananya. Melalui
strategi pencegahan, diharapkan muncul langkah berkesinambungan yang
berkontribusi bagi perbaikan ke depan. Strategi ini merupakan jawaban atas
pendekatan yang lebih terfokus pada pendekatan represif. Paradigma dengan
pendekatan represif yang berkembang karena diyakini dapat memberikan efek jera
terhadap pelaku tindak pidana korupsi (tipikor).
Daftar Pustaka :
http://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lp-in/2000320
http://jaringnews.com/keadilan/umum/34902/kpk-korupsi-sudah-jadi-bisnis-yang-menjanjikan