Rabu, 25 Desember 2013

TUGAS 4 ETIKA BISNIS ( MORALITAS KORUPTOR )

NAMA   : ACHMAD ROMADHONI
KELAS  : 4EA17
NPM      : 10210090



MORALITAS KORUPTOR

ABSTRAK
Achmad Romadhoni.Etika Bisnis. Fakultas Manajemen. Jurusan Ekonomi. Universitas Gunadarma.2013. Penulisan yang berjudul “ Moralitas Koruptor“ ini membahas tentang korupsi yang semakin marak dewasa ini, mengapa bisa terjadi dan bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis dan siapa yang harus bertanggung jawab. Makalah ini dilatarbelakangi Korupsi bertumbuh sangat subur dan rumit sehingga siap meruntuhkan setiap struktur masyarakat. Di beberapa negeri, apa saja diselesaikan dengan pelicin. Suap yang diberikan kepada orang yang tepat memungkinkan seseorang lulus ujian, mendapatkan SIM, memperoleh tender, atau memenangkan perkara hukum.. Metode penulisan ini dengan cara mengumpulkan berbagai informasi yang dari sumber-sumber yang terdapat di internet. Berdasarkan pencarian penulis di internet ternyata Korupsi dewasa ini telah menjadi bisnis yang menjanjikan. Para pelakunya merencanakannya dengan perhitungan bisnis yang matang. Oleh karena itu, hukuman tiga atau empat tahun dianggap sebagai biaya yang harus ditanggung demi mencapai hasil besar yang diinginkan.
  

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Moral pejabat negara telah berada pada titik nadir yang membahayakan.Demokrasi  yang kita bangga-banggakan selama ini, pada satu sisi tidak membawa dampak menggembirakan bagi bangsa.Reformasi politik, diakui atau tidak, telah menciptakan demokrasi secara langsung, kebebasan berpendapat, dan desentralisasi kekuasaan melalui otonomi daerah. Tetapi siapa tanya ternyata moral pejabat telah berada pada titik yang sangat mengkhawatirkan.Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Utama (PBNU), KH Said Aqil Siroj di Jakarta, Jumat (11/10) mengatakan, banyaknya kasus korupsi belakangan ini menunjukkan moralitas pejabat kita sudah merosot.“Apa artinya demokrasi kalau para pejabatnya korup dan rakyat tidak percaya lagi pada penegak hukum? Untuk membangun kembali kewibawaan hokum, kita perlu gerakan reformasi total termasuk reformasi moral,” bangsa ini juga memerlukan nilai kejujuran, kebenaran, dan kesungguhan. Said Aqil Siroj berpendapat, reformasi hukum terutama pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih tersendat.Jika mau jujur mengatakan demokrasi yang kita bangun pasca-Orde Reformasi malah melahirkan sejumlah persoalan yang membuat kita prihatin. Salah satu wujud demokrasi yang sering kita puji adalah desentralisasi kekuasaan melalui otonomi daerah. Kepala daerah dipilih langsung. Namun, siapa sangka dalam perjalanan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung malah melahirkan banyak sengketa.Namun, lepas dari kasus tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa moral pejabat negara telah berada pada titik nadir yang membahayakan. Kita mencatat sebelum mencuatnya kasus Akil Mochtar juga terdapat pejabat negara (termasuk tokoh partai politik dan pejabat tinggi di Polri), masuk dalam deretan pejabat yang bermoral buruk.Masyarakat masih ingat pada Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat itu. Lalu, ada pula Mantan Menpora Andi Mallarangeng yang Jumat (11/10) gagal ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua tokoh ini terlibat dalam kasus proyek Hambalang, Bogor.Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq, juga menggemparkan para kader partai Islam ini. Betapa tidak mengejutkan, Luthfi bersama Ahmad Fathanah didakwa menerima hadiah atau janji berupa uang Rp 1,3 miliar, bagian dari total imbalan Rp 40 miliar yang dijanjikan Dirut PT Indoguna Utama terkait pengurusan persetujuan penambahan kuota impor daging sapi.Kasus lainnya terjadi pada Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini dan mantan Kepala Korps Lantas Polri Irjen Djoko Susilo. Irjen Djoko telah divonis Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Semua hartanya terancam disita Negara.Melihat serangkaian kasus korupsi yang dilakukan pejabat negara termasuk tokoh partai politik dan kalangan akademikus itu, benar adanya moral pejabat di negeri ini sudah merosot bukan kepalang. Meski mereka sudah menduduki jabatan tinggi dan bergaji besar, tetapi masih bernapsu memperbanyak harta dengan cara tidak halal. Kondisi ini menggambarkan krisis moral benar-benar melanda negeri ini.Herannya lagi, dalam kesehariannya para koruptor tersebut aktif menjalankan ritual keagamaan, namun hatinya dekat dengan tindakan korupsi. Perbuatan korupsi terus dilakukan dengan sadar.Tepat seperti yang dikemukakan Ketua PBNU, KH Said Aqil Siroj, sudah saatnya bangsa ini memerlukan reformasi moral, nilai kejujuran, kebenaran, dan kesungguhan. Tentunya ini menjadi tugas para pemuka agama untuk selalu mengingatkan melalui pesan-pesan moral.Langkah itu juga harus dibarengi dengan penegakan hukuman yang berat bagi para pejabat negara yang terbukti korupsi. Reformasi hokum, terutama pemberantasan KKN, sudah harus menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar lagi.
Hal ini menarik untuk dipergunakan dalam membahas hukum, moral dan perilaku korupsi oleh karena adanya perilaku korupsi di Indonesia saat ini bila dijumlahkan akan mencapai jumlah yang spektakuler, sehingga menghambat pembangunan bahkan dapat mengancam kelangsungan hidup bangsa dan masyarakat Indonesia.  Sebagai bandingan, saya menggunakan juga pandangan Michael Sandel seorang ahli filsafat politik yang kini sangat terkemuka di Amerika Serikat.
Menurut pandangan saya, dengan mengikuti uraian Sandel (2009: 245) kesadaran moralitas lebih mengedepan berdasarkan kepentingan nasional, melebihi tekanan-tekanan berdasar prinsip keagamaan maupun moral sosial. Dengan demikian hal itu perlu dilihat sebagai doktrin utama dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia yang dibangun di atas dasar Pancasila dan penyelenggaraannya dijalankan berdasar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.  
Sebaliknya dapat juga dipahami bahwa dalam lingkup masyarakat plural, seseorang atau sekelompok orang dapat mengedepankan pendapatnya berdasarkan keyakinan moralnya sendiri, akan tetapi di dalam kehidupan politik adalah tidak selayaknya menolak keyakinan moral yang berbeda tetapi diperlukan memperoleh nilai-nilai kebersamaan yang menjadi kepentingan nasional yang dipahami oleh seluruh bangsa dan masyarakat Indonesia, baik secara moral maupun tercapainya keadilan sosial. Resonansi retorika politik yang terwujud di dalam hukum, apapun bertolak juga dari moral yang muncul secara pribadi maupun dari dalam kelompok.  
Dimana-mana, termasuk di Indonesia, tekanan terhadap perilaku korupsi sangat dipengaruhi oleh moralitas yang berakar pada pandangan tertentu, baik moral berdasar agama maupun moral sosial yang berakar pada cita-cita dari banyak kelompok tertentu dalam masyarakat. Hal itu tampak pada opini-opini, maupun kritik yang dikedepankan secara pribadi lewat media cetak maupun elektronik. Disinilah tercermin kepentingan atau interes nasional. Walau demikian dapat muncul pendapat bahwa moral maupun cita-cita yang ditampilkan, hanya mengedepankan kewajiban samar-samar untuk dipatuhi. Dengan demikian, acuan terhadap moralitas maupun cita-cita  sedemikian tidak menjadi ukuran bagi kesahihan hukum yang berhubungan dengan korupsi. Hukum perlu memperoleh kesahihan bukan karena semata-mata dibuat oleh lembaga yang berwenang namun juga dari moral.
1.2  Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penulisan ini adalah korupsi yang semakin marak dewasa ini, mengapa bisa terjadi dan bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis dan siapa yang harus bertanggung jawab.
1.3  Batasan masalah
Batasan masalah penulisan ini adalah hanya membahas moralitas koruptor.
1.4  Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini untuk mengetahui korupsi yang semakin marak dewasa ini, mengapa bisa terjadi dan bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis dan siapa yang harus bertanggung jawab.



BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Bisnis
Berikut ini ada beberapa pengertian bisnis menurut para ahli :
  • Allan afuah (2004)
Bisnis adalah suatu kegiatan usaha individu yang terorganisasi untuk menghasilkan dana menjual barang ataupun jasa agar mendapatkan keuntungan dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat dan ada di dalam industri.
  •  T. chwee (1990)
Bisnis merupaka suatu sistem yang memproduksi barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan masyarakat.
  • Grifin dan ebert
Bisnis adalah suatu organisasi yang mennyediakan barang atau jasa yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan.
  • Steinford
Bisnis adalah suatu lembaga yang menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat.
  • Mahmud machfoedz
Bisnis adalah suatu usaha perdagangan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang terorganisasi agar bisa mendapatkan laba dengan cara memproduksi dan memjual barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat .
·        
  • Glos, steade dan lowry (1996)
Bisnis merupakan sekumpulan aktifitas yang dilakukan untuk menciptakan dengan cara mengembangkan mentransformasikan berbagai sumberdaya menjadi barang atau jasa yang diinginkan konsumen.
  • Musselman dan jackson (1992)
Bisnis adalah jumlah seluruh kegiatan yang diorganisir orang-orang yang berkecimpung dalam bidang perniagaan dan industry yag menyediakan barang atau jasa ontuk mempertahankan dan mem[erbaiki standard serta kualitas hidup mereka.
  •   Boone dan kurtz (2002;8)
Bisnis adalah semua aktivitas aktivitas yang bertujuan memcari laba dan perusahyaan yag meghasilkan barag serta jasa yang dibutuhkan oleh sebuah sistem ekonomi.
  • Hughes dan kapoor dalam alma (1889;21)
Bisnis adalah suatu kegiatan individu yang terorganisasi untuk menghasilkan dan menjual barang dan jasa guna mendapatkan keuntungan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.
2.2 Pengertian Moral
Moral adalah kaidah mengenai apa yang baik dan buruk. Sesuatu yang baik kemudian diberi label “bermoral.” Sebaliknya, tindakan yang bertentangan dengan kebaikan lantas dikategorikan sebagai sesuatu yang jahat, buruk, atau: “tidak bermoral.”
            Semua orang sepakat bahwa manusia adalah makhluk yang istimewa, unik, dan berbeda dengan aneka ciptaan Tuhan yang lain. Keunikan tersebut menjadi faktor pembeda yang tegas antara manusia dan makhluk yang lain. Lalu apa yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain? Tentu akal budinya!
            Akal budi inilah yang memampukan manusia untuk membedakan apa yang baik dan yang buruk. Dengan demikian manusia tidak tunduk pada insting belaka. Aneka nafsu, hasrat, dan dorongan alamiah apapun diletakkan secara harmonis di bawah kendali budi.
Dari sini kemudian manusia menggagas hidupnya secara lebih bermartabat dan terhormat. Manusia kemudian punya kecenderungan alamiah untuk mengarahkan hidupnya kepada kebaikan dan menolak keburukan. Apa saja yang baik, itulah yang dikejar dan diusahakan. Hidup sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lain sebagainya kemudian digagas untuk menggapai kebaikan.
 2.3 Moralitas Obyektif
            Moralitas obyektif lahir dari kesadaran manusia untuk mencapai  kebaikan bersama. Moralitas obyektif adalah tata nilai yang secara obyektif ada dan dipatuhi bersama sebagai konsekuensi dari kodrat manusia sebagai makhluk berakal budi.
            Moralitas seperti ini hadir dalam bentuk aneka peraturan, perundangan, norma, dan nilai-nilai yang berkembang dalam tata hidup bersama. Ia bisa berwujud aturan yang sudah diwariskan turun-temurun, tetapi bisa juga berwujud aturan yang dengan sengaja dibuat untuk pencapaian kebaikan bersama, misalnya undang-undang, KUHP, aneka tata-tertib, dll. Untuk mencegah korupsi misalnya, manusia kemudian membuat undang-undang antikorupsi.
            Pelanggaran terhadap moralitas obyektif ini mengakibatkan si pelanggar dikenai sanksi dan hukum yang berlaku. Seorang koruptor, misalnya, harus dihukum jika secara obyektif dia terbukti melakukan korupsi.
2.4 Moralitas Subyektif
            Moralitas subyektif adalah tata nilai yang secara konstitutif ada di dalam hati sanubari manusia. Karena setiap manusia berakal budi, maka setiap manusia mempunyai dalam dirinya sendiri tata nilai yang mengantarnya kepada kebaikan, dan ini harus ditaati.
            Berbeda dengan moralitas obyektif, pelanggaran terhadap norma subyektif ini tidak bisa dikenai hukum obyektif. Lalu instansi apa yang bisa mengawasi moralitas subyektif semacam ini? Bukan polisi, tentara, jaksa, ataupun KPK, melainkan hati nurani! Hati nurani inilah yang kemudian terlanggar jika seseorang memilih untuk menyimpang kepada keburukan dengan mau-tahu-dan bebas.
            Secara sekilas, agaknya moralitas subyektif ini sanksinya lebih ringan karena hanya dirinya sendiri yang tahu. Tetapi betulkah demikian? Tidak! Justru sanksi dari moralitas subyektif ini akan menghantuinya seumur hidup. Jika hukuman obyektif (sanksi penjara misalnya) hanya berlaku selama beberapa tahun dan setelah itu ia bisa melenggang bebas, tidak demikian dengan sanksi yang dijatuhkan nurani manusia!
2.5 Korupsi
Korupsi berdasarkan pemahaman pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Korupsi merupaka tindakan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau sebuah korporasi) , yang secara langusng maupun tidak langsung merugikan keuangan atau prekonomian negara, yang dari segi materiil perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan masyarakat.
Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi, yaitu :
  1. Penegakan hukum tidak konsisten, penegakan hukum hanya sebagai make up politik, sifatnya sementara, selalu berubah setiap berganti pemerintahan.
  2. Penyalahgunaan kekuasaan/wewenanng, takut dianggap bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan.
  3. Langkanya lingkungan yang antikorup, sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.
  4. Rendahnya  pendapatan penyelenggara Negara.  Pendapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara Negara, mampu mendorong penyelenggara Negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
  5. Kemiskinan, keserakahan, masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi.  Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
  6. Budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah.
  7. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi, saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya.
  8. Budaya permisif/serba membolehkan, tidak mau tahu, menganggap biasa bila sering terjadi.  Tidak peduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
  9. Gagalnya pendidikan agama dan etika.  Pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri.  Sebenarnya agama bisa memainkan peran yang lebih besar dalam konteks kehidupan sosial dibandingkan institusi lainnya, sebab agama memiliki relasi atau hubungan emosional dengan para pemeluknya.  Jika diterapkan dengan benar kekuatan relasi emosional yang dimiliki agama bisa menyadarkan umat bahwa korupsi bisa membawa dampak yang sangat buruk (Indopos.co.id, 27 September 2005).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Pada penulisan ini penuli mencari informasi yang ada dari sumber-sumber diinternet sebanyak-banyaknya mengenai moralitas koruptor agar rumusan dan tujuan penulisan ini dapat terjawab. Data penulisan ini mengunakan data sekunder. Dimana pengertian Data Sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada (peneliti sebagai tangan kedua). Data sekunder dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti Biro Pusat Statistik (BPS), buku, laporan, jurnal, dan lain-lain.

BAB IV
PEMBAHASAN

Korupsi adalah perbuatan/ tindakan, dimulai dengan adanya niat, kemudian berusaha mencari-cari kesempatan atau sebaliknya dimulai dengan adanya kesempatan dan kesempatan tersebut menimbulkan niat. Dengan adanya niat dan tersedianya kesempatan maka tahapan selanjutnya adalah berpikir seberapa besar resikonya melakukan perbuatan tersebut. Jika merasa mampu menerima resiko maka terjadilah perbuatan korupsi tetapi jika dirasa resikonya besar maka akan menunda bahkan menghindari perbuatan tersebut.
Perbuatan korupsi adalah candu dan mengasyikkan. Korupsi akan memberikan sejumlah uang dalam waktu yang singkat, nilainya besar bahkan bisa melebihi jumlah gaji selama puluhan tahun bahkan bisa melebihi jumlah gaji selama ratusan tahun. Kemudian setelahnya, dengan uang tersebut akan dapat menikmati hidup, menjadi orang kaya, mampu membeli rumah mewah, mobil mewah, mampu membayar biaya kesehatan, biaya pendidikan, liburan, gaya hidup, bahkan rasa hormat melalui peningkatan dan pencitraan sosial. Bertindak sebagai dermawan dan pemurah dengan menyumbang atau donatur untuk lembaga-lembaga agama dan sosial.
Kondisi ini didukung oleh situasi dan nilai yang beredar di masyarakat. Rumah, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan fisik lainnya membutuhkan uang dalam jumlah yang besar terutama dalam masyarakat masyarakat perkotaan/ modern. Rumah, kesehatan, pendidikan, biaya hidup tidak bisa diperoleh dengan hanya jujur dan berintegritas saja. Siapapun tidak akan mampu meminta masyarakat dan orang lain untuk memberikan kesempatan pertama pada orang yang jujur dan berintegritas. Pelayanan, kemewahan dan rasa hormat harus dibayar dengan uang. Siapa mempunyai uang maka dia akan mendapatkan kesempatan pertama, pelayanan yang utama dan hal-hal utama lainnya yang sifatnya materialis. Materialisme telah merupakan tujuan hidup masyarakat saat ini.
Jahatnya adalah perbuatan korupsi ibarat kanker yang merusak kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat. Perbuatan korupsi hanyalah menguntungkan para pelakunya dan secara perlahan dan pasti perbuatan ini akan merusak tatanan hidup kolektif/ masyarakat yang mengakibatkan hak-hak ekonomi, sosial, politik masyarakat terampas untuk hidup adil, makmur dan sejahtera sehingga masyarakat akan terjatuh pada kemiskinan, kebodohan bahkan perbudakan. Dengan demikian perbuatan korupsi perlu dan harus diberantas.
Kenapa korupsi terjadi ? Variabel apa saja yang mempengaruhi individu untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan korupsi ? Pertanyaan ini adalah pertanyaan dasar yang harus dijawab untuk bisa memberantas korupsi. Dengan mengetahui jawaban atas pertanyaan tersebut maka akan dapat dilakukan usaha-usaha untuk mengatasinya, secara praktis, menyeluruh dan sistematis sehingga pemberantasan korupsi secara pasti mengalami kemajuan, menciptakan Indonesia yang bebas dari korupsi, menciptakan suasana yang kondusif bagi semua pihak untuk bekerja, memberikan kontribusi terbaik menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera.
Individu bekerja dalam suatu bidang (seperti bidang penegakan hukum, pajak, bidang anggaran, bidang pelayanan publik, bidang infrastruktur, bidang perbankan, dll). Korupsi juga terjadi pada bidang-bidang tersebut. Mengambil contoh bidang bea cukai, kenapa orang yang bekerja pada bidang bea cukai melakukan korupsi ? Pertanyaan tersebut dianalisis, kemudian hasil analisis digunakan untuk mendiagnosis dan mengambil langkah-langkah yang perlu dan sistematis untuk mengurangi kemungkinan bahkan menghindari/ mencegah seseorang melakukan korupsi dan juga mempertahankannya sehingga proses dan sistemnya berkelanjutan.
Dari penjelasan di atas maka perbuatan korupsi dalam bentuk matematis dapat dituliskan sebagai berikut:
Ko = f(N,K,R)
dimana:
Ko = perbuatan korupsi
N = niat
K = kesempatan
R = resiko melakukan korupsi
Perbuatan korupsi adalah fungsi dari niat, kesempatan dan resiko perbuatan korupsi, dimana Ko berbanding lurus dengan N, K dan berbanding terbalik dengan R. Tetapi variabel-variabel Ko, N, K dan R mempunyai hubungan yang sangat kompleks dan saling tergantung satu sama lain dan dapat dituliskan dalam persamaan berikut:
Ko = f(N,K,R) , dimana
N = f(Ko, K, R,e)
K = f(Ko, N, R,e)
R = f(Ko, N, K,e), e = hal lain yang mempengaruhi.
Ilmu-ilmu eksak mempunyai penyelesaian untuk persamaan di atas, salah satunya adalah metode iterasi dan dengan bantuan pemrograman/ komputer hal tersebut menjadi mudah untuk diselesaikan dalam waktu yang singkat dan akurasi yang tinggi. Tetapi dalam konteks sosial melakukan iterasi adalah hal yang tidak mungkin.
Dalam bentuk sederhana persamaan perbuatan korupsi dapat dituliskan sebagai berikut:
Ko = (aN * bK)/cR
dimana a,b, dan c adalah konstanta.
Dengan memahami rumus dari perbuatan korupsi (Ko) maka pemberantasan korupsi berarti menghilangkan/ menurunkan nilai Ko dengan cara menurunkan variabel niat (N) dan kesempatan (K) serta menaikkan variabel resiko (R).
KEMUNGKINAN TERJADINYA KORUPSI
Kemungkin terjadinya korupsi dengan mempertimbangkan ketiga variable di atas adalah sebagai berikut:
Ko = (aN * bK)/cR
maka kemungkinan terjadinya korupsi dapat ditulis dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Niat
Kesempatan
Resiko
Kemungkinan Terjadinya Korupsi
0
0
Tidak relevan
0
1
0
Tidak relevan
0
0
1
Tidak relevan
0
1
1
Kecil
Kemungkinan korupsi besar
(kondisi Indonesia)
1
1
Besar
Kemungkinan korupsi kecil
0<N<1
0<K<1
Relevan
0<Ko<1
Untuk kondisi Indonesia maka NIAT terjadinya korupsi adalah BESAR yang diindikasikan dengan gaji pejabat tidak mencukupi, kondisi masyarakat yang materialis, adanya nilai/ paradigma di masyarakat yang mendukung korupsi seperti seremonial-seremonial adat dan lain lain. Di saat yang sama KESEMPATAN untuk korupsi adalah BESAR yang dapat dilihat dari kewenangan pejabat yang besar, penyebaran anggaran ke daerah yang besar, pengawasan publik yang lemah (permisif terhadap korupsi), sistem pengendalian yang lemah, dll. Kondisi ini diperparah dengan RESIKO korupsi RENDAH , yang ditunjukkan dengan proses pembuktian yang berbelit-belit, penegak hukum yang bisa disuap untuk menutup-nutupi kasus, pidana kurungan yang rendah, pengembalian uang pengganti hanya sampai jumlah kerugian negara yang ditimbulkan. Maka dapat dipastikan bahwa kemungkinan terjadinya KORUPSI di INDONESIA adalah SANGAT BESAR.
Dampak korupsi terhadap sebuah kegiatan bisnis dan pihak yang bertanggung jawab
            Dengan adanya praktek korupsi yang sedang marak terjadi di Indonesia, seperti proses perizinan usaha sebuah perusahaan yang berbelit-belit dan dengan biaya tinggi yang tidak pada semestinya dikarenakan ada oknum tertentu dengan sengaja mengambil sebagian biaya tersebut. Dengan adanya praktek pungutan yang tidak semestinya, maka hal tersebut, tentunya sangat berdampak pada kegiatan bisnis dalam suatu perusahaan karena dengan adanya praktek-praktek korupsi oleh pihak-pihak/oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab ini akan membebankan perusahaan  seperti adanya High Cost sehingga hal tersebut berpengaruh pula pada harga dari sebuah produk barang atau jasa yang dihasilkan. Hal ini terjadi karena buruknya mental dan minimnya pemahaman serta kesadaran hukum pada para pelaku tindak pidana korupsi tersebut. Dan adanya persepsi dari para pengusaha terjadinya sejumlah kasus korupsi termasuk suap, juga dipicu karena rumitnya urusan birokrasi yang tidak pro bisnis, sehingga mengakibatkan beban biaya ekonomi yang tinggi dan inefisiensi waktu.
6 Strategi agar mencegah supaya korupsi tidak terjadi
Pencegahan. Korupsi masih terjadi secara masif dan sistematis. Praktiknya bisa berlangsung dimanapun, di lembaga negara, lembaga privat, hingga di kehidupan sehari-hari. Melihat kondisi seperti itu, maka pencegahan menjadi layak didudukkan sebagai strategi perdananya. Melalui strategi pencegahan, diharapkan muncul langkah berkesinambungan yang berkontribusi bagi perbaikan ke depan. Strategi ini merupakan jawaban atas pendekatan yang lebih terfokus pada pendekatan represif. Paradigma dengan pendekatan represif yang berkembang karena diyakini dapat memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi (tipikor). Sayangnya, pendekatan represif ini masih belum mampu mengurangi perilaku dan praktik koruptif secara sistematis-massif. Keberhasilan strategi pencegahan diukur berdasarkan peningkatan nilai Indeks Pencegahan Korupsi, yang hitungannya diperoleh dari dua sub indikator yaitu Control of Corruption Index dan peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business) yang dikeluarkan oleh World Bank. Semakin tinggi angka indeks yang diperoleh, maka diyakini strategi pencegahan korupsi berjalan semakin baik.

Penegakan Hukum. Masih banyak kasus korupsi yang belum tuntas, padahal animo dan ekspektasi masyarakat sudah tersedot sedemikian rupa hingga menanti-nanti adanya penyelesaian secara adil dan transparan. Penegakan hukum yang inkonsisten terhadap hukum positif dan prosesnya tidak transparan, pada akhirnya, berpengaruh pada tingkat kepercayaan (trust) masyarakat terhadap hukum dan aparaturnya. Dalam tingkat kepercayaan yang lemah, masyarakat tergiring ke arah opini bahwa hukum tidak lagi dipercayai sebagai wadah penyelesaian konflik. Masyarakat cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka melalui caranya sendiri yang, celakanya, acap berseberangan dengan hukum.

Belum lagi jika ada pihak-pihak lain yang memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum demi kepentingannya sendiri, keadaaan bisa makin runyam. Absennya kepercayaan di tengah-tengah masyarakat, tak ayal, menumbuhkan rasa tidak puas dan tidak adil terhadap lembaga hukum beserta aparaturnya. Pada suatu tempo, manakala ada upaya-upaya perbaikan dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, maka hal seperti ini akan menjadi hambatan tersendiri. Untuk itu, penyelesaian kasus-kasus korupsi yang menarik perhatian masyarakat mutlak perlu dipercepat. Tingkat keberhasilan strategi penegakan hukum ini diukur berdasarkan Indeks Penegakan Hukum Tipikor yang diperoleh dari persentase penyelesaian setiap tahapan dalam proses penegakan hukum terkait kasus Tipikor, mulai dari tahap penyelesaian pengaduan Tipikor hingga penyelesaian eksekusi putusan Tipikor.
Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan. Meratifikasi UNCAC, adalah bukti konsistensi dari komitmen Pemerintah Indonesia untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Sebagai konsekuensinya, klausul-klausul di dalam UNCAC harus dapat diterapkan dan mengikat sebagai ketentuan hukum di Indonesia. Beberapa klausul ada yang merupakan hal baru, sehingga perlu diatur/diakomodasi lebih-lanjut dalam regulasi terkait pemberantasan korupsi selain juga merevisi ketentuan di dalam regulasi yang masih tumpang-tindih menjadi prioritas dalam strategi ini. Tingkat keberhasilan strategi ini diukur berdasarkan persentase kesesuaian regulasi anti korupsi Indonesia dengan klausul UNCAC.
Kerjasama Internasional dan Penyelamatan Aset Hasil Tipikor. Berkenaan dengan upaya pengembalian aset hasil tipikor, baik di dalam maupun luar negeri, perlu diwujudkan suatu mekanisme pencegahan dan pengembalian aset secara langsung sebagaimana ketentuan UNCAC. Peraturan  perundang-undangan Indonesia belum mengatur pelaksanaan dari putusan penyitaan (perampasan) dari negara lain, lebih-lebih terhadap perampasan aset yang dilakukan tanpa adanya putusan pengadilan dari suatu kasus korupsi (confiscation without a criminal conviction). Penyelamatan aset perlu didukung oleh pengelolaan aset negara yang dilembagakan secara profesional agar kekayaan negara dari aset hasil tipikor dapat dikembalikan kepada negara secara optimal. Keberhasilan strategi ini diukur dari persentase pengembalian aset hasil tipikor ke kas negara berdasarkan putusan pengadilan dan persentase tingkat keberhasilan (success rate) kerjasama internasional terkait pelaksanaan permintaan dan penerimaan permintaan Mutual Legal Assistance (MLA) dan Ekstradisi.
Pendidikan dan Budaya Antikorupsi. Praktik-praktik korupsi yang kian masif memerlukan itikad kolaboratif dari Pemerintah beserta segenap pemangku kepentingan. Wujudnya, bisa berupa upaya menanamkan nilai budaya integritas yang dilaksanakan secara kolektif dan sistematis, baik melalui aktivitas pendidikan anti korupsi dan internalisasi budaya anti korupsi di lingkungan publik maupun swasta. Dengan kesamaan cara pandang pada setiap individu di seluruh Indonesia bahwa korupsi itu jahat, dan pada akhirnya para individu tersebut berperilaku aktif mendorong terwujudnya tata-kepemerintahan yang bersih dari korupsi diharapkan menumbuhkan prakarsa-prakarsa positif bagi upaya PPK pada khususnya, serta perbaikan tata-kepemerintahan pada umumnya. Tingkat keberhasilan strategi ini diukur berdasarkan Indeks Perilaku Antikorupsi yang ada dikalangan tata-kepemerintahan maupun individu di seluruh Indonesia.
Mekanisme Pelaporan Pelaksanaan Pemberantasan Korupsi. Strategi yang mengedepankan  penguatan mekanisme di internal Kementerian/Lembaga, swasta, dan masyarakat, tentu akan memperlancar aliran data/informasi terkait progres pelaksanaan ketentuan UNCAC. Konsolidasi dan publikasi Informasi di berbagai media, baik elektronik maupun cetak, termasuk webportal PPK, akan mempermudah pengaksesan dan pemanfaatannya dalam penyusunan kebijakan dan pengukuran kinerja PPK. Keterbukaan dalam pelaporan kegiatan PPK akan memudahkan para pemangku kepentingan berpartisipasi aktif mengawal segenap upaya yang dilakukan oleh pemerintah, lembaga publik maupun sektor swasta. Keberhasilannya diukur berdasarkan indeks tingkat kepuasan pemangku kepentingan terhadap laporan PPK. Semakin tinggi tingkat kepuasan pemangku kepentingan, maka harapannya, semua kebutuhan informasi dan pelaporan terkait proses penyusunan kebijakan dan penilaian progres PPK dapat semakin terpenuhi sehingga upaya PPK dapat dikawal secara  berkesinambungan dan tepat sasaran.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Korupsi bertumbuh sangat subur dan rumit sehingga siap meruntuhkan setiap struktur masyarakat. Di beberapa negeri, apa saja diselesaikan dengan pelicin. Suap yang diberikan kepada orang yang tepat memungkinkan seseorang lulus ujian, mendapatkan SIM, memperoleh tender, atau memenangkan perkara hukum.Ada dua hal yang membuat korupsi terus ada: sifat mementingkan diri dan ketamakan. Karena mementingkan diri, orang-orang yang korup tutup mata terhadap akibat perbuatannya, yaitu penderitaan atas orang lain, dan mereka membenarkan korupsi semata-mata karena mereka mendapat manfaat darinya. Semakin banyak keuntungan materi yang mereka timbun, semakin tamaklah para koruptor ini.Korupsi bisa diberantas jika secara obyektif ia dilarang (dengan memberlakukan hukum yang amat berat), dan secara subyektif pula diperangi (dengan mempertajam peran budi-nurani yang dimiliki oleh setiap manusia).
5.2 Saran
Korupsi masih terjadi secara masif dan sistematis. Praktiknya bisa berlangsung dimanapun, di lembaga negara, lembaga privat, hingga di kehidupan sehari-hari. Melihat kondisi seperti itu, maka pencegahan menjadi layak didudukkan sebagai strategi perdananya. Melalui strategi pencegahan, diharapkan muncul langkah berkesinambungan yang berkontribusi bagi perbaikan ke depan. Strategi ini merupakan jawaban atas pendekatan yang lebih terfokus pada pendekatan represif. Paradigma dengan pendekatan represif yang berkembang karena diyakini dapat memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi (tipikor).
Daftar Pustaka :
http://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lp-in/2000320
http://jaringnews.com/keadilan/umum/34902/kpk-korupsi-sudah-jadi-bisnis-yang-menjanjikan